Minggu, 12 November 2023

Aksi Nyata PMM : Penyebaran Informasi Merdeka Belajar


 Salam dan bahagia Bapak / Ibu guru hebat..!!

Apa itu Merdeka Belajar?

Merdeka Belajar adalah suatu pendekatan yang dilakukan siswa bisa menemukan dan memilih pelajaran atau bidang yang diminatinya. Sehingga siswa bisa mengoptimalkan bakatnya dan berkarya untuk kepentingan bangsa dan negara.

Senin, 09 Oktober 2023

MENGAPA KURIKULUM BERUBAH..???

MENGAPA KURIKULUM BERUBAH..??? 

Aksi Nyata PMM : Topik Kurikulum Merdeka

oleh Muzanni Lubis


1. MENGAPA KURIKULUM BERUBAH..???

Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang menyesuaika n dengan tuntutan zaman dan kemajuan zaman serta teknologi, serta menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan stake holder.


2. APA ALASAN KURIKULUM PERLU DIRUBAH??


Kurikulum adalah mempersiapkan generasi untuk masa depannya yang pasti akan selalu berubah.

Kurikulum harus menyesuaikan dengan tuntan serta karakteristik siswa dan tuntan zaman

Harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi



3. APA ITU KURIKULUM MERDEKA..???

Yaitu : kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler dengan konten yang beragam agar siswa dapat lebih optimal dan memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.


kurikulum merdeka ini, lebih menekankan pada penguasaan topik, proses belajar, serta pengembangan potensi siswa.


4. BAGAIMANA CARA MEWUJUDKANNYA..???

yang pertama : Merubah mindset!

a. Kepala sekolah, guru, orangtua, siswa dan masyarakat harus merubah mindset, bahwa belajar adalah untuk menggali dan mengembangkan potensi siswa. 

b. Meyakini prinsip bahwa semua orang adalah guru dan semua ruang adalah ruang kelas.


Yang kedua : Merancang kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa, dengan cara :

  1. Melakukan asesmen diagnostik terlebih dahulu
  2. Menyusun rencana yang tepat
  3. Melaksanakan pembelajaran yang terdiferensiasi dan berpusat pada siswa
  4.  melakukan asesmen yang beragam /bervariasi.




Mohon kepada para pembaca memberikan feedback di link di bawah ini :



Selasa, 31 Maret 2020

KEBIJAKAN TENTANG OTONOMI PENDIDIKAN (Makalah)


Pendahuluan
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan otoritas lebih beasr kepada pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk menentukan masa depan anak-anak mereka.
Peralihan sistem ini dipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan di berbagai jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Kehadiran UU otonomi Daerah (UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 32 Tahun 2003) tentang Pemerintahan daerah, telah membawa sejumlah perubahan dalam tatanan pemerintahan, terutama dengan diserahkannya sejumlah kewenangan kepada daerah, yang semula menjadi urusan pemerintah pusat.
Salah satu kewenangan tersebut adalah di bidang pendidikan. Namun otonomi di bidang pendidikan berbeda dengan otonomi di bidang pemerintahan lainya yang berhenti pada tingkat kabupaten dan kota. Otonomi di bidang pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten dan kota, tetapi sampai pada ujung tombak pelaksana pendidikan di lapangan, yaitu lembaga pendidikan sekolah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dalam pendidikan membawa implikasi terhadap desentralisasi pendidikan serta pendidikan berbasis masyarakat. Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis masyarakat akan berjalan dengan baik jika isu-isu kebijakan pendidikan nasional seperti masalah mutu, pemerataan, relevansi, masalah guru, sarana dan fasilitas, kesenjangan, kurikulum, dan isu-isu lainnya berhasil direkonstruksi.

 Pembahasan

A.    Pengertian
Otonomi  daerah dapat diartikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Otonomi daerah di Indonesia direalisasikan dengan membagi kekuasaan yang sebelumnya terpusat pada pemerintah pusat dengan mendelegasikan sebagian dari tugas dan kewenangan tersebut pada pemerintah daerah. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah Bab IV pasal 11 terdapat 11 jenis kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam pelaksanaannya yaitu :
1.           Pertanahan
2.           Pertanian
3.           Pendidikan dan Kebudayaan
4.           Tenaga Kerja
5.           Kesehatan
6.           Lingkungan Hidup
7.           Pekerjaan Umum
8.           Perhubungan
9.           Perdagangan dan Industri
10.       Penanaman Modal
11.       Koperasi.
Menurut UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosifi, tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan itu sendiri. Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidkan yang jelas dan jauh kedepan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang tren perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh masyarakat yang lebih baik kedepannya serta merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia yang bineka tunggal ika.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa  otonomi pendidikan sebagai kemandirian suatu daerah dalam melaksanakan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan pendidikan di daerahnya sendiri.

B.     Mengapa Perlu Otonomi Pendidikan
Paling tidak ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.
1.      Alasan psikologis.
Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Maka, ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan euforia reformasi menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar) kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun semakin terbuka.
2.      Alasan politis.
Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.
3.      Alasan hukum.
Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.
Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah, termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan psikologis yang kuat dari masyarakat.

C.     Kebijakan Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Menurut Hasbullah (2015:158) Ada beberapa kebijakan yang berkaitan dengan otonomi dan desentaralisasi pendidikan, yang mesti masuk dalam prioritas pembangunan pendidikannya, yaitu :
1.      Kebijakan mutu
Kebijakan yang trekait dengan mutu pendidikan adalah :
a.       Peningkatan mutu tenaga kependidikan, misalnya melalui program in-service training, magang, pencangkokan, study lanjut, dan pemberdayaan SDM;
b.      Penetapan konsensus standar kompetensi pendidikan nasional, yaitu sejauh mana siswa seharusnya menguasai suatu pengetahuan dan keterampilan
c.       Penetapan standar mutu pendidikan nasional melalui konsensus
d.      Peningkatan upaya pencapaian standar mutu global
e.       Pemenuhan kebutuhan sarana (buku, peralatan sekolah)
f.       Pemenuhan biaya operasional dan perawatan
g.      Pemeliharaan gedung dan peralatan
h.      Pemenuhan perangkat penyelenggaraan pendidikan dan SDM-nya
i.        Pemenuhan jumlah tenaga kependidikan
j.        Pemenuhan kesejahrteraan tega kependidikan
k.      Pemenuhan kebutuhan pokok makanan dan kesehatan siswa
l.        Penetapan standar pelayanan minimal yang harus diberikan atau dibiayai oleh daerah dalam setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikan yang disertai dengan indikator kinerjanya.
2.      Kebijakan relevansi
Kebijakan yang terkait dengan relevansi pendidikan antara lain, adalah :
a.       Adanya upaya nation character building, misalnya dengan adanya kurikulum nasional dan kurikulum daerah
b.      Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah dan pelaksanaan pendidikan
c.       Peningkatan layanan pendidikan kepada siswa “khusus”
d.      Penerapan pengembangan kurikulum berbasis masyarakat
e.       Menuju pengembangan kurikulum berbasis sekolah

3.      Kebijakan efisiensi
Kebijakan yang terkait dengan efisiensi pendidikan dalam kerangka desentaralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis masyarakat antar lain adalah pengelolaan pendidikan berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif program desentralisasi dalam bidang pendidikan
Dalam manajemen berbasis sekolah, wewenang pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemberdayaan sumber-sumber sehingga sekolah mampu secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkna, mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan kepada setiap pihak yang berkepentingan. Manajemen berbasis sekolah pada prinsipnya memberikan suatu otonomi/ kewenangan-kewenangan yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik.
4.      Kebijakan pemerataan
Kebijakan yang trekait dengan pemerataan pendidikan dalam kerangka desentralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis masyarakat, antara lain :
a.       Peningkatan pemerataan pendidiakn dasar
b.      Peningkatan angka partisipasi murni
c.       Pengurangan siswa putus sekoah
d.      Pemenuhan kebutuhan prasarana
e.       Penerapan pendidikan yang berkeadilan, pendidikan untuk semua tanpa ada diskriminasi
f.       Alokasi dan distribusi anggaran pendididkan yang harus menjunjung tinggi asas keadilan dengan menerapkan formula pendidikan yang adil dan transparan
g.      Penyediaan dan alokasi khusus untuk memberikan bantuan pendidikan melalui jalur pendidikan alternatif bagi anak-anak yang kurang beruntung, cacat, dan lambat belajar.
5.      Kebiajkan kurikulum
Kurikulum pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan dalam upaya membangun pendidikan yang berkaulitas. Penerapan kurikulum dengan memerhatikan perkemabangan yang ada setidaknya mampu memebawa pendidikan dapat beradaptasi dengan berbagi kemajuan yang ada.
Kebijakan yang terkait dengan kurikulum dalam kerangka desentralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis masyarakat antara lain, adalah :
a.       Kurikulum yang memadukan kepentingan nasional dan kepentingan lokal, serta kurikulum nasional dan kurikulum daerah yang seimbang.
b.      Untuk kurikulum pengajaran agama, dibuat peraturan perundang-undangan secara sentarl dan operasional, yang secara langsung menyangkut kurikulum, pengaturan guru, serta standar minimal yang harus dipenuhi
c.       Penerapan kurikulum berbasis kemampuan standar untuk kurikulum yang bersifat nasional
d.      Penerapan kurikulum berbasis kompetensi untuk kurikulum deerah
e.       Pengembangan kurikulum berbasis masyarakat
f.       Menuju pengembangan kurikulim berbasis sekolah
Dengan penerapan kurikulum 2013 sekarang memberi nuansa baru untuk daerah agar mampu berkreasi, karena di dalamnya sudah diatur berbagai aturan main yang memberikan kesempatan sekolah untuk dapat lebih berkembang.

D.    Implikasi Kebijakan Otonomi Pendidikan
C.1. Implikasi Positif
Beberapa dampak positif pemberlakuan otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah, pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap kebutuhan lokal.

1.      Kemandirian
Dengan pemberian otoritas  kepada daerah untuk mengelola urusan pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah daerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.

2.      Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik, karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.

3.      Kebutuhan lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dan karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa lalu, input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.
Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.

C.2. Implikasi Negatif
Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.

1.      Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya manusia di bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai daerah yang  relatif homogen secara etnis.

2.      Ketidaksiapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi peribadi atau kelompoknya.
3.      Berorientasi Nilai dan kelulusan
Pemerintah pusat berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dengan penerapan standar nasional pendidikan dan penyelenggaraan ujian nasional. Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari kesenjangan kualitas pendidikan. Ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan.
Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat standar nasional pendidikan dan ujian nasional ini merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi sebagian pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian yang berada di atas nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan pendidikan. Jika pandangan kelompok yang pertama lebih kepada penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas, maka kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target pencapaian bidang pendidikan.
4.      Hilangnya narasi besar pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan lewat pendidikan.
Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan bersama. Maka tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan kepentingan bersama.

E.     Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan
Suryono (2000: 7) menjelaskan paling tidak ada sembilan arah kebijakan otonomi pendidikan, yakni :
1.      Secara umum otonomi pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan;
2.      Pada sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom (baik propinsi, kabupaten, maupun kota), atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat;
3.      Pada gilirannya, otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah menempatkan kepentinagan ekonomi dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintah daerah otonom dengan institusi pendidikan;
4.      Masih dalam konteks otonomi daerah, kejelasan “tempat” bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada relnya;
5.      Pada tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip “school based management” pada tingkat pendidikan dasar dan menengah;
6.      Sudah selayaknya bahwa kebijakan otonomi pendidikan harus bergandengan dengan kebijakan akuntability terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan;
7.      Pada tingkat pendidikan tinggi, kebijakan otonomi pendidikan masih tetap berada dalam kerangka otonomi keilmuan, otonomi terbatas pengelolaan perguruan tinggi, dan otonomi perguruan tinggi menuju perguruan tinggi berbadan hukum dalam wacana paradigma baru manajemen pendidikan tinggi yang format implementasinya masih dalam tahap pencarian bentuk;
8.      Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapatlah ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-mata melainkan pada kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.
9.      Secara makro, apa pun muatan yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi aharuslah menonjolkan keunggulan-keunggulan perguruan tinggi baik sebagai kekuatan moral, kekuatan ekonomi, bahkan bisa jadi kekuatan politik yang mampu mewarnai mozaik perjalanan bangsa dan negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.


















DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah. 2015.  Kebijakan Pendidikan : Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Suryono. 2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Dinamika Pendidikan No.2 Tahun VII Agustus 2000.
UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional




















 

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PR OGRAM PASCASARJANA
 UNIVERSTAS NEGERI MEDAN
TP.  2015/2016