oleh :Fauzi Saleh - Opini
ISLAM mengajarkan manusia dengan wahyu yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Wahyu yang menjadi pedoman itu diturunkan oleh Allah swt dalam bentuk matluw (yang dibaca: Alquran) dan ghayr al-matluw (sunnah). Wahyu al-matluw memberikan landasan global tentang aspek ibadah dan muamalah yang dikemudian diaplikasikan dengan sunnah sebagai wahyu ghayr matluw di samping memberi ketentuan hal-hal yang belum tercakup dan penguat ketentuan yang sudah ada dalam Alquran.
Dalam aspek sains, Alquran, sebagai pilar utama dalam Islam, tidak memberikan penjelasan terperinci. Karena Alquran bukanlah kitab ‘ilmiyyah tetapi hidayah. Meskipun demikian, statement dan ungkapan Alquran sangat ilmiah yang teruji sepanjang waktu dan zaman. Validitas Alquran dalam mengungkap fenomenal saintifik menunjukkan kemukjizatannya dan orinisinalitas produk Ilahi.
Kenapa Alquran berbicara tentang sains? Sains sebenarnya hasil tadabbur terhadap ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan tersurat. Karena ayat adalah tanda-tanda (simbol) yang menunjukkan keagungan dan kemahakusaan Tuhan. Ayat yang dimaksud terbagi dua, ada yang disebut dengan ayat qawliyyah dan ayat ada pula kawniyyah.
Pendekatan sains terhadap agama
Berbicara tentang agama sebagaimana kita bicarakan sebelumnya berarti berbicara tentang kitab suci. Agama tanpa kitab suci ibarat kapal tanpa pengendali. Menurut Dr. Zakir Naik, ada dua pendekatan untuk melihat sains dalam kaca mata agama. Pertama, concordist approachi dan kedua: conflict approach.
Concordist approach merupakan suatu pendekatan di mana seorang peneliti mencoba memahami ayat-ayat dan mengkorelasikan dengan fenomena-fenomena alamiah. Perlu dipahami bahwa ayat-ayat yang diturunkan Allah swt berbicara dalam bahasa yang dipahami. Sebagai contoh, Allah swt berfirman yang artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah: 22)
Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa Dia menciptakan bumi dalam bentuk hamparan (tikar). Ayat ini sama sekali tidak menafikan kenyataan ilmiah bahwa bumi itu bulat. Allah hendak menjelaskan bahwa dalam pandangan normal manusia memang bumi dalam keadaan terhampar sehingga memungkin manusia untuk tinggal dan mencari kehidupan di sana.
Sementara conflict approach merupakan suatu pendekatan di mana seorang peneliti hendak mem’pertengkarkan’ antara kitab suci dengan fenoma-fenoma alam. Pendekatan ini biasa digunakan untuk mencari celah penafian eksistensi agama yang berujung pada ateisme dan sekularisasi pemikiran atau meremehkan nilai-nilai normative agama.
Hidayah dan Ilmiah
Kebenaran Alquran memang diakui oleh manusia, baik muslim ataupun non-muslim. Tetapi dalam kenyataannya, ilmuwan-ilmuwan itu tidak semua kemudian mengubah keyakinannya setelah pengakuan kebenaran Alquran. Bagi mereka, ilmu itu untuk ilmu sementara bagi umat Islam, ilmu adalah alat dan jembatan untuk beramal. Kalau ilmu untuk ilmu, maka hidayah akan jauh dari seorang ilmuwan.
Perlu digarisbawahi, orang yang bertambah ilmu namun tidak bertambah hidayah, maka ia semakin menjauh dari nur Ilahi dan nilai-nilai spiritual. Manusia boleh mengagungkan dan menuhankan sains dan teknologi, tetapi bila tidak diikat dengan nur Ilahi justeru banyak menimbukan mafsadah (kehancuran) daripada kemaslahatan.
Tulisan ini tidak bermaksud labelisasi ilmu dan teknologi. Artinya tidak perlu berbangga dengan penambahan kata “islam” dipenghujung sebuah produk ilmu, sementara sistem dan substansi belum Islami. Akhir-akhirnya ngetrend dengan terma seumpama “pendidikan Islam”, “ekonomi Islam”, “politik Islam” dan seterusnya. Dari segi syiar sudah lumayan, tetapi apakah kita sudah puas dengan sekadar label sementar substansinya jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
Islam itu hidayah, artinya sebuah produk Islami akan mendorong produsennya, distributornya dan konsumennya merasakan rahmatan. Rahmatan bagi produsen artinya mereka yang menghasilkan barang merasakan untung yang halal dengan produk yang bermanfaat bagi orang lain. Rahmatan bagi distributor artinya ia mendapatkan gaji yang layak bagi kehidupan diri, anak dan istri. Rahmatan bagi konsumen artinya bukan produk aspal (asli kelihatannya palsu pada kenyataan). Dengan demikian, orang merasa bahwa umat Islam memang menyajikan kasih sayang sesama. Mungkin melalui jalur itu, Allah memberikan hidayah kepadanya untuk menjadi muslim.
Dikotomi Ilmu
Islam pada hakikatnya tidak mengenal dikotomi ilmu. Terbukti bahwa ulama terdahulu mereka kental akidah, fiqh dan akhlak, tetapi mereka juga memahami ilmu sejarah, matematika, manajemen dan seterusnya. Imam al-Ghazali umpamanya mengklasifikan ilmu dengan sebagai skala prioritas. Sehingga beliau berpendapat ada ilmu yang sifatnya fardh ‘ain dan ada pula yang fardhu kifayah. Pembagian ini tentunya pertimbangan batas kemampuan manusia. bagi mereka yang memiliki kemampuan terbatas, maka sekurang-kurangnya mereka harus memiliki pilar-pilar dasar dalam beribadah dan bermuamalah. Tetapi bagi mereka yang memiliki kemampuan secara intelektual, emosial dan rasional, kenapa yang membatasi diri dengan beberapa bagian ilmu saja. Bukan semakin banyak bidang ilmu yang kita miliki maka semakin luas cakrawala dan cara berpikir.
Islam tidak akan maju bila masih terjadi dikotomi ilmu dalam kehidupan. Seorang ilmuwan-muslim apa pun latarbelakang pendidikan dan profesinya-sebagai dai, imam, guru dan figur dalam masyarakatnya. Ini menunjukkan betapa dekatnya kehidupan ini dengan agama. Agama di sini berfungsi sebagai pembawa pencerahan untuk semua.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa sains mengambil posisi yang sangat urgen dalam menguatkan sisi keagamaan seseorang. Sebaliknya agama selalu mendorong manusia untuk mendalami sains dalam rangka membangun kehidupan yang lebih hidup. Agama merupakan norma dasar yang memiliki nilai-nilai universal untuk ikut mewarnai sains. Hal itu dimaksudkan agar sains yang dihasilkan itu betul-betul bermanfaat secara total bagi kehidupan manusia secara individual dan komunal.
Akumulasi pemahaman di atas akhirnya dapat menghasilkan sebuah kehidupan kolektif yang menghargai sains dalam framing keagamaan demi mewujudkan sebuah negeri yang berpredikat “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” (sebuah negeri yang makmur di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Pengampun).
* Penulis adalah dosen Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Kamis, 14 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar