Rabu, 23 September 2015

FILSAFAT KEBENARAN


1.      Pengertian Filsafat
Secara harfiah filsafat diartikan dengan cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Maka berfilsafat adalah proses mencari kebenaran itu sendiri. Atau yang dikenal dengan esensi kebenaran. Dengan ditemukannya kebenaran esensi itu maka akan timbul dalam pada dirinya ‘kebijaksanaan’. Oleh karena itu, manusia tidak akan menjadi bijaksana kalau dia tidak berfilsafat. Salah satu usaha untuk menjadi makhluk yang berfilsafat adalah dengan melalui belajar, baik belajar formal maupun nonformal.

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat/kebenaran sesuatu. “semakin hidup benar, maka kehidupan semakin baik”.

2.      Apakah kebenaran itu?
Kebenaran itu ialah suatu sikap dan tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Norma-norma disini adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat, seperti norma adat istiadat, norma ilmiah maupun norma agama. Nanti lebih jelas dilihat pada saat membahas tentang tingkatan-tingkata kebenaran.

3.      Apakah Karakteristik berfilsafat itu?
            Apakah setiap yang berpikir itu disebut berfilsafat?, jawabnya tidak. Berfilsafat memang berpikir, tapi berpikir yang tersturuktur atau beraturan. Ada tiga yang disebut dengan karakteristik berfilsafat, yaitu :
a.       Berfikir holistik, yaitu berfikir secara menyeluruh, secara universal, dipandang dari semua sudut. Mengedepankan kepentingan yang lebih luas dari pada kepentingan pribadi.
b.      Berfikir secara mendasar, yaitu berpikir secara mengakar, sampai kepada inti masalah, sehingga akan mencapai kebenaran yang esensi.
c.       Berfikir secara spekulatif, yaitu berfikir yang diawali dengan meragukan sebuah kebenaran, dan berandai-andai sehingga timbul dalam hatinya terus mencari, dan tidak pernah puas pada kebenaran yang di dapat.
Dengan begitu, semua manusia adalah makhluk berfikir atau makhluk berfilsafat. Karena, manusia itu dituntut untuk senantiasa mencari kebenaran kapan pun dan dimana pun. Oleh karena itu ending dari proses pendidikan itu adalah kebenaran. Dan juga, karena semakin seringnya manusia mencari kebenaran itu, maka semakin tumbuh rasa cintanya terhadap kebenaran itu sendiri.

4.      Tingkatan-tingkatan Kebenaran
1.      Untuk menjadi Anggota DPR harus mempunyai uang untuk membeli suara. Apakah itu kebenaran? Ya, itu kebenaran, tapi kebenarannya pada tingkat yang paling rendah, dan sangat dangkal. Dan hanya diakui oleh segelintir orang. Itulah yang disebut dengan kebenaran praktis yang dilandasi oleh empirik panca indera.
2.      Memakan makanan yang bergizi akan membuat badan menjadi sehat. Apakah itu sebuah kebenaran? Ya, itu sebuah kebenaran pada tingkat yang lebih tinggi dibanding kebenaran nomor satu tadi. Kebenaran disini adalah kebenaran yang telah diteliti dan dibuktikan secara ilmiah dan diterima oleh akal (logis). Jadi tidak bisa dibantahkan karena telah mengikuti prosedur pencarian kebanaran. Itulah yang disebut dengan kebenaran ilmiah yang dilandasi dengan akal pikiran.
3.      Menyayangi anak yang baik dan anak yang ‘bandel’ adalah sebuah kewajiban bagi orang tua. Apakah itu benar? Ya, itu benar. Kebenaran disini lebih tinggi lagi dari kebenaran nomor satu dan nomor dua. Kebenaran disini telah mengandalkan hati, tidak lagi sebatas akanl. Memang secara rasional, kewajiban menyayangi anak bagi orang tua hanyalah untuk anak yang baik saja, kalau anak yang tidak baik tidak perlu disayangi. Tapi kebenaran melalui pendekatan hati, menyayangi anak adalah kewajiban orang tua, baik anaknya baik, maupun anaknnya tidak baik. Itu adalah kebenaran esensi yang dilandasi oleh hati.
4.      Adanya kehidupan setelah kehidupan dunia ini adalah kebenaran. Kebenaran disini tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, karena tidak bisa dipikirkan oleh akal, dan belum dibuktikan dengan pengalaman. Akan tetapi kebenaran ini dilandasi dengan wahyu dari Tuhan dan diyakini oleh manusia. Itulah yang disebut dengan kebenaran Causa Prima yang dilandasi oleh nurani.

Untuk mengetahui suatu pernyataan benar atau tidaknya harus dilakukan validasi premis. Yaitu melihat premis mayor dan premis minor. Premis-premis minor harus konsisten dengan premis mayor. Sebagai contoh :
Premis mayor  : Guru menyayangi muridnya
Premis minor   : Guru menyayangi murid yang baik
Premis minor   : Guru tidak menyayangi murid yang tidak baik

Pernyataan di atas ‘salah’ dikarenakan premis-premis minor tidak konsisten. Lihat lagi contoh berikut :
Premis mayor  : Saya menyukai belajar
Premis minor   : saya menyukai pelajaran filsafat
Premis minor   : saya menyukai pelajaran filsafat ilmu
Pernyataan di atas ‘benar’ dikarenakan premis-premis minor konsisten.



0 komentar:

Posting Komentar