Pendahuluan
Sistem
sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring dengan
berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak bisa terlepas
dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru pengelolaan pendidikan
di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem pendidikan yang desentralistik
(decentralized system). Sistem ini
mengurangi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan
memberikan otoritas lebih beasr kepada pemerintah daerah hingga institusi
pendidikan untuk menentukan masa depan anak-anak mereka.
Peralihan sistem
ini dipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan di berbagai
jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai dengan kondisi lingkungannya.
Kehadiran UU otonomi Daerah (UU No. 2 Tahun 1989 dan UU No. 32 Tahun 2003)
tentang Pemerintahan daerah, telah membawa sejumlah perubahan dalam tatanan
pemerintahan, terutama dengan diserahkannya sejumlah kewenangan kepada daerah,
yang semula menjadi urusan pemerintah pusat.
Salah satu
kewenangan tersebut adalah di bidang pendidikan. Namun otonomi di bidang
pendidikan berbeda dengan otonomi di bidang pemerintahan lainya yang berhenti
pada tingkat kabupaten dan kota. Otonomi di bidang pendidikan tidak hanya
berhenti pada tingkat kabupaten dan kota, tetapi sampai pada ujung tombak
pelaksana pendidikan di lapangan, yaitu lembaga pendidikan sekolah.
Penyelenggaraan otonomi
daerah dalam pendidikan membawa implikasi terhadap desentralisasi pendidikan
serta pendidikan berbasis masyarakat. Penyelenggaraan desentralisasi pendidikan
dan pendidikan berbasis masyarakat akan berjalan dengan baik jika isu-isu
kebijakan pendidikan nasional seperti masalah mutu, pemerataan, relevansi,
masalah guru, sarana dan fasilitas, kesenjangan, kurikulum, dan isu-isu lainnya
berhasil direkonstruksi.
Pembahasan
A.
Pengertian
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai kemandirian
suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai
kepentingan daerahnya sendiri. Otonomi daerah di Indonesia direalisasikan
dengan membagi kekuasaan yang sebelumnya terpusat pada pemerintah pusat dengan
mendelegasikan sebagian dari tugas dan kewenangan tersebut pada pemerintah
daerah. Menurut undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah
Bab IV pasal 11 terdapat 11 jenis kewenangan yang diberikan kepada daerah dalam
pelaksanaannya yaitu :
1.
Pertanahan
2.
Pertanian
3.
Pendidikan
dan Kebudayaan
4.
Tenaga Kerja
5.
Kesehatan
6.
Lingkungan
Hidup
7.
Pekerjaan
Umum
8.
Perhubungan
9.
Perdagangan
dan Industri
10. Penanaman Modal
11. Koperasi.
Menurut UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan.
Pasal 9, masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya
pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosifi, tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan
itu sendiri. Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus memiliki
visi dan misi pendidkan yang jelas dan jauh kedepan dengan melakukan pengkajian
yang mendalam dan meluas tentang tren perkembangan penduduk dan masyarakat
untuk memperoleh masyarakat yang lebih baik kedepannya serta merancang sistem
pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia yang bineka
tunggal ika.
Berdasarkan penjelasan
di atas maka dapat disimpulkan bahwa otonomi pendidikan sebagai kemandirian suatu
daerah dalam melaksanakan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan
pendidikan di daerahnya sendiri.
B.
Mengapa Perlu Otonomi Pendidikan
Paling tidak ada tiga alasan utama mengapa
desentralisasi pendidikan ini dilaksanakan di Indonesia.
1.
Alasan psikologis.
Sistem pendidikan yang sentralistik diduga
telah menyebabkan mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola
lembaga-lembaga pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat
secara seragam oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah
menyebabkan hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan
dareha untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan
penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Maka, ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan
euforia reformasi menggejala di Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian
(besar) kebijakan, pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas
daerah dan lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun
semakin terbuka.
2.
Alasan politis.
Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah
tetap di bawah kewenangan pemerintah pusat. Berbagai kewenangan pendidikan,
dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru
merupakan kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian
kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan
pemerintahan, tuntutan untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun
tidak terelakkan. Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih
besar dalam hal kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.
3.
Alasan hukum.
Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan
sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara.
Undang-Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur
Pemerintahan Daerah.
Kewenangan itu diberikan dengan pertimbangan
antara lain bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan pendidikan di
daerah masing-masing, sehingga diharapkan dapat membuat program dan kebijakan
yang secara langsung menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih
lanjutnya kemudia adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan
sebagai wahana penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi
daerah, termasuk otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan
pihak tertentu, tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan
psikologis yang kuat dari masyarakat.
C. Kebijakan
Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Menurut Hasbullah
(2015:158) Ada beberapa kebijakan yang berkaitan dengan otonomi dan
desentaralisasi pendidikan, yang mesti masuk dalam prioritas pembangunan
pendidikannya, yaitu :
1. Kebijakan
mutu
Kebijakan
yang trekait dengan mutu pendidikan adalah :
a. Peningkatan
mutu tenaga kependidikan, misalnya melalui program in-service training, magang,
pencangkokan, study lanjut, dan pemberdayaan SDM;
b. Penetapan
konsensus standar kompetensi pendidikan nasional, yaitu sejauh mana siswa
seharusnya menguasai suatu pengetahuan dan keterampilan
c. Penetapan
standar mutu pendidikan nasional melalui konsensus
d. Peningkatan
upaya pencapaian standar mutu global
e. Pemenuhan
kebutuhan sarana (buku, peralatan sekolah)
f. Pemenuhan
biaya operasional dan perawatan
g. Pemeliharaan
gedung dan peralatan
h. Pemenuhan
perangkat penyelenggaraan pendidikan dan SDM-nya
i.
Pemenuhan jumlah tenaga
kependidikan
j.
Pemenuhan
kesejahrteraan tega kependidikan
k. Pemenuhan
kebutuhan pokok makanan dan kesehatan siswa
l.
Penetapan standar
pelayanan minimal yang harus diberikan atau dibiayai oleh daerah dalam setiap
jenis, jenjang dan jalur pendidikan yang disertai dengan indikator kinerjanya.
2. Kebijakan
relevansi
Kebijakan
yang terkait dengan relevansi pendidikan antara lain, adalah :
a. Adanya
upaya nation character building, misalnya dengan adanya kurikulum nasional dan
kurikulum daerah
b. Meningkatkan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah dan pelaksanaan pendidikan
c. Peningkatan
layanan pendidikan kepada siswa “khusus”
d. Penerapan
pengembangan kurikulum berbasis masyarakat
e. Menuju
pengembangan kurikulum berbasis sekolah
3. Kebijakan
efisiensi
Kebijakan yang terkait
dengan efisiensi pendidikan dalam kerangka desentaralisasi pendidikan dan pendidikan
berbasis masyarakat antar lain adalah pengelolaan pendidikan berbasis sekolah.
Manajemen berbasis sekolah merupakan bentuk alternatif program desentralisasi
dalam bidang pendidikan
Dalam manajemen
berbasis sekolah, wewenang pengambilan keputusan dipandang sebagai otonomi di
tingkat sekolah dalam pemberdayaan sumber-sumber sehingga sekolah mampu secara
mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, memanfaatkna,
mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan kepada setiap pihak yang berkepentingan.
Manajemen berbasis sekolah pada prinsipnya memberikan suatu otonomi/
kewenangan-kewenangan yang bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari
birokrasi yang sentralistik.
4. Kebijakan
pemerataan
Kebijakan yang trekait dengan pemerataan
pendidikan dalam kerangka desentralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis
masyarakat, antara lain :
a. Peningkatan
pemerataan pendidiakn dasar
b. Peningkatan
angka partisipasi murni
c. Pengurangan
siswa putus sekoah
d. Pemenuhan
kebutuhan prasarana
e. Penerapan
pendidikan yang berkeadilan, pendidikan untuk semua tanpa ada diskriminasi
f. Alokasi
dan distribusi anggaran pendididkan yang harus menjunjung tinggi asas keadilan
dengan menerapkan formula pendidikan yang adil dan transparan
g. Penyediaan
dan alokasi khusus untuk memberikan bantuan pendidikan melalui jalur pendidikan
alternatif bagi anak-anak yang kurang beruntung, cacat, dan lambat belajar.
5. Kebiajkan
kurikulum
Kurikulum pendidikan adalah sesuatu yang
tidak bisa dikesampingkan dalam upaya membangun pendidikan yang berkaulitas.
Penerapan kurikulum dengan memerhatikan perkemabangan yang ada setidaknya mampu
memebawa pendidikan dapat beradaptasi dengan berbagi kemajuan yang ada.
Kebijakan yang terkait dengan kurikulum
dalam kerangka desentralisasi pendidikan dan pendidikan berbasis masyarakat
antara lain, adalah :
a. Kurikulum
yang memadukan kepentingan nasional dan kepentingan lokal, serta kurikulum
nasional dan kurikulum daerah yang seimbang.
b. Untuk
kurikulum pengajaran agama, dibuat peraturan perundang-undangan secara sentarl
dan operasional, yang secara langsung menyangkut kurikulum, pengaturan guru,
serta standar minimal yang harus dipenuhi
c. Penerapan
kurikulum berbasis kemampuan standar untuk kurikulum yang bersifat nasional
d. Penerapan
kurikulum berbasis kompetensi untuk kurikulum deerah
e. Pengembangan
kurikulum berbasis masyarakat
f. Menuju
pengembangan kurikulim berbasis sekolah
Dengan penerapan kurikulum 2013 sekarang
memberi nuansa baru untuk daerah agar mampu berkreasi, karena di dalamnya sudah
diatur berbagai aturan main yang memberikan kesempatan sekolah untuk dapat
lebih berkembang.
D.
Implikasi
Kebijakan Otonomi Pendidikan
C.1. Implikasi Positif
Beberapa dampak
positif pemberlakuan otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah
kemandirian daerah, pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan Lebih peka
terhadap kebutuhan lokal.
1.
Kemandirian
Dengan
pemberian otoritas kepada daerah untuk
mengelola urusan pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola
penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan
pada pemerintah pusat. Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran
pendidikan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah
daerah juga diberi keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya
pendidikan. Sekolah dan guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan
Departemen Pendidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah
daerah. Hal ini memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada
pemerintah daerah untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.
2.
Memaksimalkan Potensi
Setiap
daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai potensi
tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara
sentralistik, karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan, pengelolaan
dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih besar kepada
daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan
mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi
potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.
3. Kebutuhan
lokal
Pemberian
otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pendidikan telah
mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana pendidikan, yaitu
sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun
pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dan karenanya materi pendidikan
pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat dapat dipungkiri bahwa setiap
daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan
daerah akan kebutuhan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis,
pengaruh praktek pendidikan di masa lalu, input pendidikan yang tidak merata
dan warisan budaya setempat.
Otoritas
pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pendidikan akan mampu
mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang secara spesifik dimiliki
oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi
pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah dalam
memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan mampu
meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.
C.2. Implikasi Negatif
Di
samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi pendidikan
sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya
persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah
beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.
1. Lokalisasi
SDM
Kewenangan
pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan seringkali memunculkan
sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.
Kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya manusia di
bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang perpindahan
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke daerah lain,
sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di Indonesia
mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di kota-kota besar yang
multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai daerah yang relatif homogen secara etnis.
2. Ketidaksiapan
daerah
Tidak
semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kesiapan yang sama untuk
mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah yang merespon kewenangan yang
besar ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di
daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana
dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan unit-unit penunjang
penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula
daerah yang melihat pemberian kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang
menguntungkan bagi peribadi atau kelompoknya.
3.
Berorientasi Nilai dan
kelulusan
Pemerintah pusat
berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah dengan
penerapan standar nasional pendidikan dan penyelenggaraan ujian nasional.
Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan
oleh pemerintah guna menghindari kesenjangan kualitas pendidikan. Ujian
nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu mengurangi
kesenjangan kualitas pendidikan.
Bagi sebagian
pemerintah daerah, amanat standar nasional pendidikan dan ujian nasional ini
merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di wilayahnya. Bagi
sebagian pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian nasional merupakan
tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian yang berada di atas
nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang persoalan ini berimplikasi
besar terhadap etika penyelenggaraan pendidikan. Jika pandangan kelompok yang
pertama lebih kepada penyediaan layanan pendidikan yang berorientasi kualitas,
maka kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana memperoleh nilai ujian yang
melebih standar minimum yang ditetapkan, maka kemudian banyak daerah yang
mencanangkan lulus UN 100% sebagai target pencapaian bidang pendidikan.
4.
Hilangnya narasi besar
pendidikan
Ada
satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan
berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendidikan nasional.
Pada masa lalu, kita sering mendengar nasionalisme dan patriotisme sebagai
nilai yang harus ditanamkan lewat pendidikan.
Dewasa
ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga pendidikan nasional
seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan bersama. Maka tidak
mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di birokrasi
pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga pendidikan swasta, lebih
memprioriatskan kepentingan kelompok kecil mereka dan kurang memeperhatikan
kepentingan bersama.
E.
Arah
Kebijakan Otonomi Pendidikan
Suryono (2000: 7) menjelaskan paling
tidak ada sembilan arah kebijakan otonomi pendidikan, yakni :
1.
Secara umum otonomi
pendidikan menuju pada upaya meningkatkan mutu pendidikan;
2. Pada
sisi otonomi daerah, otonomi pendidikan mengarah pada menipisnya kewenangan
pemerintah pusat dan membengkaknya kewenangan daerah otonom (baik propinsi,
kabupaten, maupun kota), atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang
harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat;
3. Pada
gilirannya, otonomi pendidikan dalam konteks otonomi daerah menempatkan
kepentinagan ekonomi dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara
pemerintah daerah otonom dengan institusi pendidikan;
4. Masih
dalam konteks otonomi daerah, kejelasan “tempat” bagi institusi-institusi
pendidikan perlu diformulasikan agar otonomi pendidikan dapat berjalan pada
relnya;
5. Pada
tingkat persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan
prinsip “school based management” pada tingkat pendidikan dasar dan menengah;
6. Sudah
selayaknya bahwa kebijakan otonomi pendidikan harus bergandengan dengan
kebijakan akuntability terutama yang berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau
pembiayaan pendidikan;
7. Pada
tingkat pendidikan tinggi, kebijakan otonomi pendidikan masih tetap berada
dalam kerangka otonomi keilmuan, otonomi terbatas pengelolaan perguruan tinggi,
dan otonomi perguruan tinggi menuju perguruan tinggi berbadan hukum dalam
wacana paradigma baru manajemen pendidikan tinggi yang format implementasinya
masih dalam tahap pencarian bentuk;
8. Dalam
konteks otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan tinggi dapatlah
ditempatkan bukan pada kepentingan daerah semata-mata melainkan pada kenyataan
bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional.
9.
Secara makro, apa pun
muatan yang terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi aharuslah
menonjolkan keunggulan-keunggulan perguruan tinggi baik sebagai kekuatan moral,
kekuatan ekonomi, bahkan bisa jadi kekuatan politik yang mampu mewarnai mozaik
perjalanan bangsa dan negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, bebas
dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasbullah.
2015. Kebijakan Pendidikan : Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi
Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Suryono.
2000. Arah Kebijakan Otonomi Pendidikan
Dalam Konteks Otonomi Daerah. Dinamika Pendidikan No.2 Tahun VII Agustus
2000.
UU No 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
UU No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
PROGRAM STUDI
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PR OGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSTAS NEGERI MEDAN
TP. 2015/2016