1.
Pengertian Filsafat
Secara
harfiah filsafat diartikan dengan cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Maka
berfilsafat adalah proses mencari kebenaran itu sendiri. Atau yang dikenal
dengan esensi kebenaran. Dengan ditemukannya kebenaran esensi itu maka akan
timbul dalam pada dirinya ‘kebijaksanaan’. Oleh karena itu, manusia tidak akan
menjadi bijaksana kalau dia tidak berfilsafat. Salah satu usaha untuk menjadi
makhluk yang berfilsafat adalah dengan melalui belajar, baik belajar formal
maupun nonformal.
Filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang hakikat/kebenaran sesuatu. “semakin hidup benar, maka kehidupan semakin baik”.
2. Apakah
kebenaran itu?
Kebenaran
itu ialah suatu sikap dan tindakan yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
Norma-norma disini adalah norma-norma yang berlaku di masyarakat, seperti norma
adat istiadat, norma ilmiah maupun norma agama. Nanti lebih jelas dilihat pada
saat membahas tentang tingkatan-tingkata kebenaran.
3. Apakah
Karakteristik berfilsafat itu?
Apakah setiap yang berpikir itu
disebut berfilsafat?, jawabnya tidak. Berfilsafat memang berpikir, tapi
berpikir yang tersturuktur atau beraturan. Ada tiga yang disebut dengan
karakteristik berfilsafat, yaitu :
a. Berfikir
holistik, yaitu berfikir secara menyeluruh, secara universal, dipandang dari
semua sudut. Mengedepankan kepentingan yang lebih luas dari pada kepentingan
pribadi.
b. Berfikir
secara mendasar, yaitu berpikir secara mengakar, sampai kepada inti masalah,
sehingga akan mencapai kebenaran yang esensi.
c. Berfikir
secara spekulatif, yaitu berfikir yang diawali dengan meragukan sebuah kebenaran, dan berandai-andai sehingga timbul
dalam hatinya terus mencari, dan tidak pernah puas pada kebenaran yang di
dapat.
Dengan
begitu, semua manusia adalah makhluk berfikir atau makhluk berfilsafat. Karena,
manusia itu dituntut untuk senantiasa mencari kebenaran kapan pun dan dimana
pun. Oleh karena itu ending dari
proses pendidikan itu adalah kebenaran. Dan juga, karena semakin seringnya manusia
mencari kebenaran itu, maka semakin tumbuh rasa cintanya terhadap kebenaran itu
sendiri.
4. Tingkatan-tingkatan
Kebenaran
1. Untuk
menjadi Anggota DPR harus mempunyai uang untuk membeli suara. Apakah itu
kebenaran? Ya, itu kebenaran, tapi kebenarannya pada tingkat yang paling
rendah, dan sangat dangkal. Dan hanya diakui oleh segelintir orang. Itulah yang
disebut dengan kebenaran praktis yang
dilandasi oleh empirik panca indera.
2. Memakan
makanan yang bergizi akan membuat badan menjadi sehat. Apakah itu sebuah
kebenaran? Ya, itu sebuah kebenaran pada tingkat yang lebih tinggi dibanding
kebenaran nomor satu tadi. Kebenaran disini adalah kebenaran yang telah
diteliti dan dibuktikan secara ilmiah dan diterima oleh akal (logis). Jadi
tidak bisa dibantahkan karena telah mengikuti prosedur pencarian kebanaran.
Itulah yang disebut dengan kebenaran
ilmiah yang dilandasi dengan akal pikiran.
3. Menyayangi
anak yang baik dan anak yang ‘bandel’ adalah sebuah kewajiban bagi orang tua.
Apakah itu benar? Ya, itu benar. Kebenaran disini lebih tinggi lagi dari
kebenaran nomor satu dan nomor dua. Kebenaran disini telah mengandalkan hati,
tidak lagi sebatas akanl. Memang secara rasional, kewajiban menyayangi anak
bagi orang tua hanyalah untuk anak yang baik saja, kalau anak yang tidak baik
tidak perlu disayangi. Tapi kebenaran melalui pendekatan hati, menyayangi anak
adalah kewajiban orang tua, baik anaknya baik, maupun anaknnya tidak baik. Itu
adalah kebenaran esensi yang dilandasi
oleh hati.
4. Adanya
kehidupan setelah kehidupan dunia ini adalah kebenaran. Kebenaran disini tidak
bisa dibuktikan secara ilmiah, karena tidak bisa dipikirkan oleh akal, dan
belum dibuktikan dengan pengalaman. Akan tetapi kebenaran ini dilandasi dengan
wahyu dari Tuhan dan diyakini oleh manusia. Itulah yang disebut dengan kebenaran Causa Prima yang dilandasi oleh
nurani.
Untuk
mengetahui suatu pernyataan benar atau tidaknya harus dilakukan validasi
premis. Yaitu melihat premis mayor dan premis minor. Premis-premis minor harus
konsisten dengan premis mayor. Sebagai contoh :
Premis
mayor : Guru menyayangi muridnya
Premis
minor : Guru menyayangi murid yang baik
Premis
minor : Guru tidak menyayangi murid yang
tidak baik
Pernyataan
di atas ‘salah’ dikarenakan premis-premis minor tidak konsisten. Lihat lagi
contoh berikut :
Premis
mayor : Saya menyukai belajar
Premis
minor : saya menyukai pelajaran filsafat
Premis
minor : saya menyukai pelajaran filsafat
ilmu
Pernyataan
di atas ‘benar’ dikarenakan premis-premis minor konsisten.
0 komentar:
Posting Komentar